Pendahuluan

Masalah kepemimpinan selalu aktual untuk dibicarakan. Banyak hal, baik negatif maupun positif terjadi, karena kepemimpinan. Sesungguhnya dunia menjadi seperti sekarang ini, karena pengaruh dari sedikit orang saja, yaitu mereka yang disebut para pemimpin. 

Dalam gereja kita juga mengenal para pemimpin. Biasanya mereka disebut para pendeta dan/atau para penatua. Di kalangan pemerintahan, dunia non-kristen, dan di beberapa denominasi, para pemimpin kristen ini dikenal dengan sebutan para pendeta. Di lingkungan GKKD, selain para pendeta, kita juga mengenal para penatua, yang juga merupakan para pemimpin. Ada penatua yang juga pendeta, ada pendeta yang bukan penatua, dan adapula penatua yang bukan pendeta. Adanya dua istilah ini boleh jadi membingungkan, dan membuat kita bertanya-tanya: sesungguhnya siapakah pemimpin jemaat itu? Para pendetakah? Para penatuakah?

Untuk menjawab dan meluruskan hal itu, maka pada tanggal 26 September 2001,  diadakan diskusi bedah buku, mengacu kepada buku: “Manakah yang alkitabiah, kepenatuaan atau kependetaan” karangan Alexander Strauch (Yayasan Andi, 1986). Diskusi  ini diikuti oleh seluruh BPH sinode plus sejumlah undangan, yaitu: Rachmat M.,  Robinson S.,  Osten S.,  Benyamin T., Samuel T., Guntur B., Sahala, Lomo, sehingga semuanya berjumlah 10 orang. Hasil dari diskusi yang mengambil tempat di sekretariat sinode ini dirangkum dalam tulisan ini.

Siapakah pemimpin itu?

Untuk mengawali pembicaraan, lebih dahulu harus ditentukan definisi kita mengenai pemimpin dan kepemimpinan. Siapakah pemimpin itu, dan apakah esensi dari kepemimpinan?

Pertama-tama perlu dibedakan antara seorang pemimpin dengan seorang manajer. Walaupun kadang-kadang ada kesamaan fungsional antara kepemimpinan dan manajemen, ternyata keduanya mempunyai perbedaan yang sangat mendasar. Olan Hendrix membuat pembedaan yang sangat jelas di antara keduanya.

KepemimpinanManajemen
Suatu kualitasSuatu seni dan ilmu
Menyediakan visiMenyediakan perspektif yang realistik
Berhubungan dengan konsepBerhubungan dengan fungsi
Mempraktekkan imanBerhubungan dengan fakta
Mengusahakan efektivitasMengusahakan efisiensi
Suatu pengaruh baik diantara sumber-sumber yang potensialMerupakan koordinasi dari sumber-sumber daya yang tersedia, yang diorganisir untuk mencapai hasil maksimal
Menyediakan arahMelakukan kontrol
Berusaha mencari kesempatan atau peluang.Berkepentingan dengan prestasi

Melihat perbandingan itu, maka kita mengerti bahwa kepemimpinan mempunyai perbedaan yang hakiki dengan manajemen. Selama ini, disadari atau tidak, kita banyak terjebak pada pengertian kepemimpinan sebagai posisi atau jabatan. Banyak orang berlomba-lomba untuk disebut dan diakui sebagai pemimpin, bukan karena mereka melakukan fungsi kepemimpinan, tetapi karena mereka ingin memegang kekuasaan. Padahal kepemimpinan sejati tidak mencari kekuasaan, melainkan meluaskan pengaruh. Bagi para pemimpin, wewenang dan penghormatan merupakan akibat belaka, bukan merupakan tujuan. 

Karena kepemimpinan tidak berhubungan dengan struktur dan posisi, seseorang tidak harus menduduki jabatan tertentu untuk menjadi pemimpin. Tanpa jabatan formal apapun, ada orang-orang yang memiliki banyak pengikut, sehingga diakui atau tidak, dia adalah seorang pemimpin. Sebaliknya sangat mungkin seseorang yang memiliki posisi tinggi bukanlah seorang pemimpin yang sesungguhnya.

Dengan pengertian ini maka sesungguhnya setiap orang terpanggil untuk menjadi pemimpin, yaitu bukan dalam arti posisi (karena masalah posisi atau kedudukan adalah masalah manajemen), tetapi dalam hal menjadi pengaruh positif bagi orang lain. Apapun jabatannya, seseorang dapat memberikan inspirasi, teladan, dorongan kearah yang lebih baik, kepada orang-orang di sekitarnya.

Siapakah pemimpin gereja lokal?

Bila setiap orang dapat dan harus menjadi pemimpin, lalu siapakah pemimpin jemaat lokal? Adakah orang-orang tertentu, yang secara khusus disebut sebagai pemimpin? 

Dalam kenyataannya, gereja secara tegas mengenal pemimpin-pemimpin jemaat. Bahkan  Firman Tuhan mengatakan bahwa kita harus tunduk dan taat kepada para pemimpin kita, karena merekalah yang berjaga-jaga atas jiwa kita (Ibr 13:17).

Sesungguhnya, para pemimpin memang sangat diperlukan, karena merekalah yang menyediakan arah bagi kawanan itu. Pemimpin menyediakan visi, dan mempraktekkan iman dalam menjangkau visi tersebut. Tanpa seorang pemimpin, jemaat akan berjalan berputar-putar dan tersesat.

Tetapi pemimpin perjanjian baru, seperti tertulis dalam alkitab, seringkali sangat berbeda dengan pemimpin gereja moderen yang kita kenal selama ini. Beberapa ciri para pemimpin gereja mula-mula yang kita kenal adalah:

  • Kepemimpinan alkitabiah adalah kepemimpinan yang berhati hamba
  • Memenuhi sejumlah syarat (1 Tim 3:1-13; Tit 1:5-16)
  • Kepemimpinan bersifat jamak
  • Mereka bukanlah orang-orang dengan ‘kasta’ yang lebih tinggi, tetapi mereka adalah orang-orang yang memimpin orang-orang lain yang sama derajadnya.
  • Para pemimpin ini bertugas untuk melindungi dan memberi makanan rohani kepada jemaat.

Namun satu hal yang harus dimengerti, bahwa kendatipun peran mereka begitu penting, mereka bukanlah orang-orang yang memonopoli pekerjaan pelayanan. Pemimpin gereja ini bukanlah para imam gaya Perjanjian Lama, dengan jemaat sebagai kaum awam. Sebaliknya mereka adalah orang-orang yang melengkapi orang-orang kudus,  yaitu mereka yang sudah ditebus dan diampuni dosanya karena percaya kepada Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat, untuk melakukan pekerjaan pelayanan.

Lebih tepat bila dikatakan bahwa para pemimpin gereja lokal menyerupai figur seorang bapa. Seorang bapa bertugas memberi makan bagi anak-anaknya, menyediakan pendidikan yang baik, melatih mereka sehingga akhirnya anak-anak itu menjadi dewasa, dan dapat melakukan apa yang dilakukan oleh bapanya. Bapa yang baik akan menghasilkan orang-orang yang bahkan lebih baik dari dirinya sendiri. Tanggung jawab seorang bapa dapat dirumuskan sebagai berikut:

  1. Bertumbuh secara rohani
  2. Anugerah (menggali dan mengembangkan karunia yang Allah berikan)
  3. Pondasi kehidupan yang kokoh
  4. Arah dan panggilan
  5. Pengayoman

Pemimpin yang berhasil tidaklah dinilai dari hasil pelayanannya yang spektakuler, posisi atau kharisma yang dia miliki tetapi seberapa banyak melalui hidupnya dihasilkan bapa-bapa rohani yang baru.

Di dalam alkitab, para pemimpin ini disebut sebagai para penatua (elders, Ing.). Mereka bukanlah bos, atau majikan, melainkan orang-orang yang dituakan, yang berfungsi sebagai bapa bagi jemaat. Didalam lingkungan GKKD, para pemimpin jemaat ini juga disebut sebagai para penatua.

Lalu siapakah para pendeta itu?

Sesungguhnya alkitab tidak mengenal istilah ‘pendeta’. Istilah ini sendiri diimpor dari luar kekristenan, untuk memberikan nama kepada seorang gembala tunggal atau senior yang berkuasa. Kata pendeta dapat dilihat langsung dalam Kamus besar Bahasa Indonesia, dimana kata itu didefinisikan sebagai pemuka, pemimpin, atau guru agama, yang notabene bukan istilah yang dipakai dalam agama kristen satu-satunya. Kemungkinan kata ‘pendeta’ diambil oleh orang Kristen Prostetan karena kata ‘pastor’ (bahasa latin dari kata ‘gembala’), sudah dipakai dalam gereja Katholik (Strauch, p. 179)

Pada umumnya kita mengenal kata ‘pendeta’, sebagai pemimpin agama kristen. Istilah ini menunjuk kepada seseorang yang memiliki kedudukan tertinggi dalam jemaat, orang yang dianggap lebih rohani, lebih suci, baik hati, lebih dekat kepada Allah, dan berfungsi sebagai imam. Para pendeta inilah yang diberi wewenang untuk melakukan tugas-tugas pastoral, misalnya membaptis, menikahkan, memimpin penguburan, dan berkotbah. Biasanya mereka adalah para ‘hamba Tuhan’sepenuh waktu yang ditahbiskan. Sebagai lawannya, kita mengenal orang awam yaitu ‘jemaat biasa’, yang di dalam gereja nyaris tidak melakukan apa-apa selain dilayani oleh pendeta.

Banyak gereja yang menerapkan konsep di atas, dengan alasan bahwa di dalam jaman Perjanjian Lama, kita mengenal suku Lewi, yaitu orang-orang yang mendapat kedudukan khusus, sebagai pelayan Tuhan  di Tabernakel. Mereka disebut sebagai imam-imam bagi bangsa Israel. Merekalah yang melakukan pekerjaan di Tabernakel itu. Suku yang lain, tidak diijinkan. Ada hukuman yang keras, bila suku bukan Lewi melakukan tugas keimaman. Sebagai suku istimewa, suku ini tidak mendapat warisan pembagian tanah. Namun mereka berhak untuk menerima persembahan dari ke sebelas suku yang lain. Banyak para ‘pendeta’ jaman ini mengidentifikasikan diri mereka sendiri dengan para imam Lewi itu.

Tetapi rupanya argumen itu mempunyai kelemahan yang mendasar. Kematian Yesus di kayu salib memberikan suatu perubahan yang sangat besar, yaitu merupakan akhir dari imamat Lewi. Robeknya tirai Bait Suci, yang memisahkan ruang kudus dengan ruang maha kudus (yaitu suatu ruang dalam Tabernakel yang hanya boleh dimasuki oleh imam besar dari suku Lewi), merupakan tanda bahwa imamat Lewi sudah dihapuskan. Sejak saat ini Imamat Lewi diganti dengan Imamat orang percaya. Itulah sebabnya Petrus menyatakannya kepada orang-orang percaya:

Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaat Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib……. (! Petrus 2:9)

Sejak itulah, pekerjaan sebagai imam, tidak hanya dilakukan oleh segelintir orang yang dianggap sebagai elit rohani. Pekerjaan keimaman merupakan tanggung jawab setiap orang kudus/orang percaya. Gereja yang merupakan kumpulan orang percaya ini mempunyai tanggung jawab untuk menjadi imam bagi dunia, yaitu dengan cara memberitakan perbuatan-perbuatan besar dari Allah, dan membawa mereka kepada kasih Kristus. Pekerjaan ini bukanlah milik sekelompok ‘pendeta’ lagi, melainkan menjadi tugas bagi setiap kita. Gereja perjanjian baru tidak lagi mengenal gelar-gelar rohani untuk melakukan pelayanannya.

Imamat orang percaya dan dunia.

Namun, pengertian seperti ini tentu saja tidak akan dapat dipahami oleh orang tidak percaya. Sungguh mustahil mengharapkan orang non-kristen untuk mengerti dan percaya bahwa setiap orang kristen adalah imam. Doktrin mengenai kelompok elit rohani ini nampaknya selalu ada dalam setiap agama di bumi. 

Dengan pola pikir seperti itu, maka mereka juga mengharapkan bahwa dalam kekristenan pun ada kelompok elit rohani, yang mereka sebut dengan pendeta itu. Pendetalah yang melakukan tugas-tugas pastoral, seperti menikahkan, memimpin upacara penguburan, membaptis, berkhotbah, memimpin perjamuan kudus, dll. Sangat tidak masuk akal bagi mereka bila tugas-tugas tersebut dilakukan oleh ‘sembarang’ orang, bukan oleh orang yang ‘ditahbiskan’.

Menghadapi pola berpikir seperti itu bagaimanakah sikap kita? 

Sampai saaat ini, kita memilih untuk menghadapinya dengan tidak bersikap frontal. 

Untuk daerah-daerah, dimana kependetaan tidak dipermasalahkan, maka biarlah pelayanan dilakukan oleh setiap orang percaya. Tanpa embel-embel gelar pdt., pdm., atau evangelist, setiap orang kudus dapat menjadi garam dan terang bagi dunia ini. Bahkan disadari kadang-kadang gelar-gelar tersebut justru dapat menjadi penghalang. Biarlah setiap orang percaya, betul-betul menjadi seperti garam, yang meresap ke dalam masyarakat, dan mewarnai masyarakat tersebut dengan kasih Kristus dan kuasa Kristus.

Di lain pihak, ada kemungkinan gelar-gelar tersebut diperlukan, misalnya untuk alasan jaminan keamanan, memenuhi syarat dari pemerintah, maupun demi membangun kredibilitas di kalangan tertentu. Dalam keadaan demikian ini tidak ada salahnya gelar-gelar itu dipergunakan, asalkan para pemakainya mengerti benar artinya, yaitu bahwa dengan gelar kependetaan yang disandangnya, dia tetap menyadari imamat orang percaya, dan terus berusaha membangun nilai itu disetiap pelayanannya.

Kesimpulan:

  • Kepemimpinan merupakan suatu kualitas, bukan merupakan suatu posisi atau kedudukan. Kepemimpinan adalah bagaimana seseorang membawa pengaruh atau inspirasi bagi sekelilingnya. Dengan pengertian ini, setiap orang percaya mempunyai panggilan untuk menjadi pemimpin.
  • Kepemimpinan  dalam jemaat tidak mendewakan struktur, yaitu pola atasan-bawahan, bos dan pekerja. Walaupun struktur tetap ada, karena struktur diperlukan untuk ketertiban manajerial, namun semangat yang mendasarinya adalah semangat kehambaan, yaitu pemimpin sebagai pelayan. Kepemimpinan jemaat juga dapat dipandang sebagai pembapakan, yaitu semangat membangun orang-orang yang dipimpin, agar mereka bertumbuh optimal
  • Imamat kristen adalah imamat orang percaya, dimana setiap orang percaya menjadi imam-imam, yang menjadi pengantara bagi dunia ini untuk dibawa kepada kasih karunia Allah. Pekerjaan pelayanan bukan milik pendeta atau yang sejenisnya, melainkan milik dan menjadi kewajiban setiap orang percaya
  • Gelar kependetaan sekedar merupakan alat untuk melayani, dan bukanlah merupakan tujuan. Mahkota orang percaya bukanlah gelar-gelar itu, melainkan jiwa-jiwa yang dibawa ke bawah salib kristus.